indralstr16

Jumat, 27 Mei 2011

BAYI TABUNG MENURUT PANDANGAN AGAMA ISLAM

  • Pengantar

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya”. (Q.S. Al-Isra : 36)

Sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknologi kedokteran dan biologi yang canggih, maka teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan bertaqwa, dikhawatirkan dapat merusak nilai-nilai agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat yang negatif lainnya yang tidak terbayangkan oleh kita sekarang ini. Sebab apa yang bisa dihasilkan dengan teknologi, belum tentu bisa diterima dengan baik menurut agama, etika, dan hukum yang hidup dimasyarakat. Hal ini terbukti dengan misalnya timbulnya kasus bayi tabung diAmerika Serikat, di mana ibu titipannya bernama Mary Beth White head dimeja hijaukan, karena tidak mau menyerahkan bayinya kepada keluarga William Stern sesuai dengan kontrak. Dan setelah melalui proses peradilan yang cukup lama, akhirnya Mahkamah Agung memutuskan, keluarga Mary harus menyerahkan bayi tabungnya kepada keluarga William sesuai dengan kontrak yang dianggap sah menurut hukum di sana. Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan di dunia kedokteran, antara lain ialah :

1.Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri.
2.Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam disaluran telur (tuba palupi).

Teknik kedua ini lebih alamiah dari pada teknik pertama, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi (pancaran mani) melalui hubungan seksual. Masalah bayi tabung / inseminasi buatan telah banyak dibicarakan di kalangan Islam dan diluar kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Misalnya Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma. Lembaga Fiqh Islam OKI(Organisasi Konferensi Islam) mengadakan sidang di Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan / bayi tabung, dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma dan/atau ovum donor. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibutitipan, dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Kemudian Kartono Muhammad, Ketua IDI(Ikatan Dokter Indonesia) memberi informasi, bayi tabung pertama Indonesia yang diharapkan lahir di Indonesia sekitar bulan Mei yang akan datang ditangani oleh dokter-dokter Indonesia sendiri. Ia mengharapkan agar masyarakat Indonesia bisa memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovum dari suami/ istri sendiri.


  • Hukum Bayi Tabung / Inseminasi Buatan Menurut Islam

Kalau kita hendak mengkaji masalah bayi tabung dari segi hukum Islam, makaharus dikaji dengan memakai metode ijtihad lajim dipakai oleh para ahli ijtihad,agar ijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan Sunah yangmenjadi pegangan umat Islam. Sudah tentu ulama yang melaksanakan ijtihadtentang masalah ini, memerlukan informasi yang cukup tentang teknik dan prosesterjadinya bayi tabung dari cendekiawan Muslim yang ahli dalam bidang studi yangrelevan dengan masalah ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli biologi. Denganpengkajian secara multidisipliner ini, dapat ditemukan hukumnya yang proporsionaldan mendasar.
Bayi tabung / inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovumsuami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita laintermasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islammembenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkanke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asalkeadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan carainseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahanalami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan hokum Fiqih Islam.
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal terlarang.

Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor spermadan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi).Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dannasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah sebagai berikut :

1)Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70 :
Dan sesungguhnya telah Kami meliakan anak-anak Adam, Kami angkat
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baikdan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakanmakhluk yang telah Kami ciptakan”.

Dan Surat Al-Tin ayat 4 :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”.

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhansebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihimakhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakanmanusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnyasendiri dan juga menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknyainseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkatmanusia (human dignity) sejajar dengan hewan yang diinseminasi.

2)Hadits Nabi :
Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir
menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istriorang lain).Hadits riwayat Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan Hadits ini dipandang sahih oleh Ibnu Hibban”.

Dengan hadits ini para ulama madzhab sepakat mengharamkan sesorangmengawini/melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang lainyang mempunyai ikatan perkawinan yang sah. Tetapi mereka berbeda pendapat : apakah sah/tidak seorang pria mengawini wanita hamil dari orang lain akibat zina? Menurut madzhab Hanbali, wanita tersebut tidak boleh dinikahi oleh pria yang tidak menghamilinya sebelum lahir kandungannya.Sebab dia itu terkena iddah. Zufar al-Hanafi juga sependapat dengan madzhab Hanbali. Sedang madzhab Syafii membolehkan wanita hamil tersebut dikawin ioleh orang yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu lahir bayinya,sebab anak yang dikandungnya itu tidak ada hubungan nasab dengan pria yang berzina yang menghamili ibunya. Karena itu, adanya si janin itu sama dengan tidak ada, sehingga tidak perlu ada iddah. Sementara Abu Hanifah membolehkan juga seorang mengawini wanita hamil dari zina dengan orang lain (sah nikahnya), tetapi dengan syarat si pria yang menjadi suaminya itu untuk sementara tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinyasebelum kandungan lahir.

Menurut hemat penulis, madhab Hanbali yang mengharamkan perkawinananatra wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamilinyasebelum habis iddahnya (lahir kandungannya) adalah mengandung hukumanyang cukup berat yang tidak hanya dirasakan oleh si wanita pelaku zina,melainkan juga oleh keluarganya, lebih-lebih nantinya akan dirasakan oleh sianak yang tidak berdosa akibat ulah ibunya. Sebaliknya madzhab Syafii yang membolehkan wanita hamil karena zina bisa dinikahi pria lain tanpa syarat bias membawa dampak negatif dalam masyarakat, yakni pria dan wanita tidak merasa takut melakukan hubungan seksual di luar nikah. Sebab kalau terjadi kehamilan, pria dan wanita tersebut bisa kawin atau wanita tersebut bisa kawin dengan pria lain tanpa menunggu iddah, kecuali kalau keduanya atau salah seorang dari keduanya masih terikat tali perkawinan dengan orang lain (videUU No. 1/1974 pasal 9 jo pasal 3 (2) dan pasal 4).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda